Penyesalan..
Tanggal 18 di tiga bulan yang sudah berlalu, aku tidak
sedikit pun menyangka akan kehilanganmu, Pak.
Memang kebanyakan manusia akan sadar dengan nalurinya
setelah semua terjadi. Karena sesudah itu baru sadar dan
menyambung-nyambungkannya. Begitu juga aku, Pak.
Jika itu pertemuan terakhirku denganmu, aku akan kembali
pulang denganmu. Menggenggam tanganmu sampai aku puas.
Jika tahu itu percakapan terakhirku denganmu, aku akan
serius mendengarkan. Tapi aku senang, setidaknya kau tertawa walau ada perasaan
khawatir.
Jika perasaan ingin pulang itu aku ikuti, mungkin aku
akan masih melihatmu. Tapi egoisnya aku mengabaikan itu. Mengabaikan rindu-rindu
yang engkau katakan dengan isyarat ‘Kapan pulang?’, ‘masih lama tidak?’. Malah aku
bertekad ada di tempat itu sampai beres tanpa pulang. Aku menyesal, Pak!
Hari sebelum engkau menghadap-Nya, Tuhan telah
memberiku kebahagian. Aku bahagia, bahkan terlalu. Tapi, bahagia itu tak
sanggup menjadi anastesi atas kesedihan
untuk kehilanganmu.
Hingga hari itu tiba. Aku mengabaikan panggilan masuk
dari semuanya. Kukira kau hanya sakit seperti dulu. Dan tak lama akan sehat
lagi. Dengan tenang aku tak mempercayainya. Tapi demi apapun, khawatir itu ada.
Rasa takut kehilanganmu ada. Tapi aku hanya berdo’a ‘Tuhan, Kau tahu apa yang terbaik. Sehatkan kembali dia. Kuatkan kembali
dia. Seperti dulu’.
Sepanjang jalan aku hanya berdo’a. berbaik-baik sangka
terhadap apa yang terjadi.’bukankah
prasangka Allah akan sama dengan prasangka hamba-Nya?’. Dan aku terus
yakini itu. Pura-pura tak ada apa-apa. Tapi setiap jalan yang kulewati semua
mengingatkan tentangmu. Bagimana ini, Pak? Aku berteriak pun percuma.
Hingga ketika sampai depan rumah. Kulewati masjid itu.
Terdapat banyak orang. Aku tak sedkit pun mencurigainya. Tidak, Pak!
Di depan rumah, kala itu aku berada. Semua makin
banyak. Semua memegangku. Tapi aku tak tahu ini ada apa. Hanya takut, untuk
berpikiran buruk. Tapi mengapa semua yang berada di dalam rumah menangis, dan mereka bilang
‘yang sabar ya, Bapak udah tidak ada.’,
dan lalu akunya hanya diam. Tidak tahu harus bagaimana. Mencari dirimu, tapi
tak ada. Yang ada hanya sisa-sisa bau kapur barus, sialan itu.
Jasadmu telah berada di masjid. Aku hanya ingin
melihatmu. Semua berkata ‘hati-hati
jangan terkena air mata!’. Kutahan desakan itu. Ketika ada yang membuka
kain kafan itu, wajahmu pun terlihat. Putih. Bersih. Tetap sama. Namun yang
berbeda, kala itu kau sudah tak bernafas.
Aku menyesal, benar-benar menyesal. Karena aku jarang
memerhatikan wajahmu. Karena aku terkadang lupa, bahwa kau takkan selamanya
ada. Di sini, bersamaku. Di sini sampai nanti, kau mendampingiku.
Aku menyesal. Ketika mereka bilang sebelum kau pergi,
kau panggil-panggil aku. Kau bilang kau sakit. Sedang aku tidak ada. Sedang tidak di dekatmu.
Terimakasih. Hanya itu yang dapat kuucapkan. Terimakasih
untuk segalanya. Terimakasih untuk segala waktunya. Terimakasih untuk segala
pengorbanannya. Untuk segala pengetahuan yang kau berikan. Lebih-lebih dari
itu. Terimaksih entah untuk yang terkadang aku sepelekan. Maaf atas segalanya.
Bapak. Semoga dalam masa menunggumu, kau ditempatkan
pada tempat yang terbaik. Diampuni segala kealfaan. Sampai jumpa di
periode-periode lain. Semoga kita
bertemu nanti. Semoga Allah meridoi itu. Amien.
Salam rindu, dari aku. Anakmu.
Ditulis di Bandung, 19 Nopember tahunnya 2015 sambil
mengenang.
“dan penyesalan adalah bukti dari tingkat tertinggi
atas keegoisan”-PidiBaiq
“bukan berarti aku tak meningatmu. Sedangkan aku
merasa kau masih selalu ada”-AtiahZR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar