Kamis, 19 November 2015

Dalam Kenangan.

Penyesalan..

Tanggal 18 di tiga bulan yang sudah berlalu, aku tidak sedikit pun menyangka akan kehilanganmu, Pak.

Memang kebanyakan manusia akan sadar dengan nalurinya setelah semua terjadi. Karena sesudah itu baru sadar dan menyambung-nyambungkannya. Begitu juga aku, Pak.

Jika itu pertemuan terakhirku denganmu, aku akan kembali pulang denganmu. Menggenggam tanganmu sampai aku puas.

Jika tahu itu percakapan terakhirku denganmu, aku akan serius mendengarkan. Tapi aku senang, setidaknya kau tertawa walau ada perasaan khawatir.

Jika perasaan ingin pulang itu aku ikuti, mungkin aku akan masih melihatmu. Tapi egoisnya aku mengabaikan itu. Mengabaikan rindu-rindu yang engkau katakan dengan isyarat ‘Kapan pulang?’, ‘masih lama tidak?’. Malah aku bertekad ada di tempat itu sampai beres tanpa pulang. Aku menyesal, Pak!

Hari sebelum engkau menghadap-Nya, Tuhan telah memberiku kebahagian. Aku bahagia, bahkan terlalu. Tapi, bahagia itu tak sanggup menjadi anastesi atas kesedihan untuk kehilanganmu.

Hingga hari itu tiba. Aku mengabaikan panggilan masuk dari semuanya. Kukira kau hanya sakit seperti dulu. Dan tak lama akan sehat lagi. Dengan tenang aku tak mempercayainya. Tapi demi apapun, khawatir itu ada. Rasa takut kehilanganmu ada. Tapi aku hanya berdo’a ‘Tuhan, Kau tahu apa yang terbaik. Sehatkan kembali dia. Kuatkan kembali dia. Seperti dulu’.

Sepanjang jalan aku hanya berdo’a. berbaik-baik sangka terhadap apa yang terjadi.’bukankah prasangka Allah akan sama dengan prasangka hamba-Nya?’. Dan aku terus yakini itu. Pura-pura tak ada apa-apa. Tapi setiap jalan yang kulewati semua mengingatkan tentangmu. Bagimana ini, Pak? Aku berteriak pun percuma.

Hingga ketika sampai depan rumah. Kulewati masjid itu. Terdapat banyak orang. Aku tak sedkit pun mencurigainya. Tidak, Pak!

Di depan rumah, kala itu aku berada. Semua makin banyak. Semua memegangku. Tapi aku tak tahu ini ada apa. Hanya takut, untuk berpikiran buruk. Tapi mengapa semua yang berada di dalam rumah menangis, dan mereka bilang ‘yang sabar ya, Bapak udah tidak ada.’, dan lalu akunya hanya diam. Tidak tahu harus bagaimana. Mencari dirimu, tapi tak ada. Yang ada hanya sisa-sisa bau kapur barus, sialan itu.

Jasadmu telah berada di masjid. Aku hanya ingin melihatmu. Semua berkata ‘hati-hati jangan terkena air mata!’. Kutahan desakan itu. Ketika ada yang membuka kain kafan itu, wajahmu pun terlihat. Putih. Bersih. Tetap sama. Namun yang berbeda, kala itu kau sudah tak bernafas.

Aku menyesal, benar-benar menyesal. Karena aku jarang memerhatikan wajahmu. Karena aku terkadang lupa, bahwa kau takkan selamanya ada. Di sini, bersamaku. Di sini sampai nanti, kau mendampingiku.

Aku menyesal. Ketika mereka bilang sebelum kau pergi, kau panggil-panggil aku. Kau bilang kau sakit. Sedang aku tidak ada. Sedang tidak di dekatmu.

Terimakasih. Hanya itu yang dapat kuucapkan. Terimakasih untuk segalanya. Terimakasih untuk segala waktunya. Terimakasih untuk segala pengorbanannya. Untuk segala pengetahuan yang kau berikan. Lebih-lebih dari itu. Terimaksih entah untuk yang terkadang aku sepelekan. Maaf atas segalanya.

Bapak. Semoga dalam masa menunggumu, kau ditempatkan pada tempat yang terbaik. Diampuni segala kealfaan. Sampai jumpa di periode-periode lain. Semoga kita  bertemu nanti. Semoga Allah meridoi itu. Amien.

Salam rindu, dari aku. Anakmu.
Ditulis di Bandung, 19 Nopember tahunnya 2015 sambil mengenang.


“dan penyesalan adalah bukti dari tingkat tertinggi atas keegoisan”-PidiBaiq


“bukan berarti aku tak meningatmu. Sedangkan aku merasa kau masih selalu ada”-AtiahZR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar